Bagaimana cara agar umat Islam yang tersebar di berbagai penjuru dunia itu bisa memenuhi seruan global Alquran untuk saling mengenal?
Allah SWT berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Padahal, kewajiban-kewajiban agama mereka, seperti shalat, puasa, dan zakat dikerjakan di negeri mereka masing-masing. Dalam konteks ini, upaya untuk saling mengenal satu sama lain hanya bisa dilakukan dalam lingkup pedesaan atau perkotaan saja.
Dalam lingkup yang lebih luas, seruan global Alquran dalam arti yang sebenarnya hanya bisa diwujudkan melalui pelaksanaan ibadah haji. Berangkat dari berbagai negeri di dunia menuju satu tempat berkumpul yang dalam bahasa Alquran disebut dengan “haji”, telah menjadi sebuah ritual dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Melalui ibadah haji, seorang mukmin akan melihat, bertemu, dan mengenal saudara-saudara seimannya dari berbagai penjuru dunia. Kemudian, mau atau tidak ia akan belajar banyak tentang sejumlah kebiasaan dan adat mereka. Ia juga akan mendengar berbagai dialek dan bahasa yang berbeda-beda, selain melihat perbedaan ras dan warna kulit dari segala penjuru dunia.
Dari sinilah dia baru akan memahami beberapa firman Allah SWT yang mengatakan, “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak.” (QS. Al-Rum: 20).
Allah juga berfirman, “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Rum: 22).
Kemudian Firman Allah SWT, “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggilmu sekali dari bumi, seketika itu kamu akan keluar dari kubur.” (QS. Al-Rum: 25).
Dalam perjalanan rohani ini terjadi pertemuan antar jamaah yang diakhiri dengan perkenalan. Sebelum seluruh rangkaian manasik haji dirampungkan, mereka akan mulai saling bertukar alamat tempat tinggal, saling berkunjung, atau surat menyurat.
Semangat pertemanan akan muncul dan persaudaraan akan terjalin kuat. Seolah-olah itu semua seperti hasil panen yang mereka petik. Pada tahun berikutnya, mereka akan kembali menjalin perkenalan baru, menyegarkan kembali hubungan pertemanan pada tahun sebelumnya, penuh dengan rasa kasih dan semangat persaudaraan.
Sungguh, ibadah haji adalah perjalanan perkenalan, pertemanan, dan persahabatan yang dilakukan di bawah naungan Allah SWT dan di Tanah Suci-Nya yang aman.
Ibadah haji juga bisa dianggap sebagai perjalanan kesabaran. Sabar untuk meninggalkan anak dan istri. Sabar untuk melakukan perjalanan jarak jauh beserta semua kesulitannya.
Sabar untuk meninggalkan rumah yang dijadikan tempat berteduh dari panas dan hujan untuk kemudian menuju kemah kecil di tanah lapang dengan panas menyengat di hampir setiap tahunnya.
Haji juga sebagai latihan kesabaran untuk memakan makanan yang monoton. Sabar untuk menginap di tempat perkemahan bersama orang-orang asing dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa.
Sabar untuk tidak ditemani televisi, radio, atau hiburan-hiburan lainnya. Jamaah haji harus merelakan banyak waktu untuk berpikir, merenung, dan berkosentrasi dalam menjalankan manasik.
Setiap detik yang mereka lalui di Makkah adalah ujian atas kesabaran, disamping juga latihan untuk mengekang hawa nafsu yang jika bisa dilakukan maka Allah SWT akan mengganjarnya dengan pahala yang berlipat.
Dalil bahwa kesabaran adalah salah satu tujuan perjalanan ibadah haji ialah bahwa seseorang yang telah kembali pulang dari Makkah, sementara waktu pelaksanaan haji di tahun berikutnya sudah semakin dekat, pasti akan semakin rindu dan terikat hatinya untuk berkunjung kembali ke Baitullah.