Hikmah Melempar Jumrah

Apakah tujuan melempar jumrah adalah melempar setan?Sebagian orang beranggapan bahwa melempar jumrah sama dengan melempar setan yang sedang diikat di tugu jamroh. Saking yakinnya dengan keyakinan ini, sampai-sampai mencari batu yang besar untuk melontar jumrah. Bahkan sampai ada yang melempar dengan sendal, sepatu, botol dan yang lainnya.
Cukup beralasan anggapan ini; bila kita telusuri ternyata mereka berdalih dengan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma saat menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال :” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“.
Ibnu Abbas kemudian mengatakan,
الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
“Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.
Dari sisi sanad riwayat di atas tidak ada masalah; status sanadnya shahih. Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, beliau berdua menshahihkan riwayat ini. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17), hadits nomor 1156.
Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas di atas. Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah melempari setan secara konkrit. Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar sedang terikat di tugu jumrah dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan yang mengenai tubuhnya.
Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas dalam perkataan beliau. Merajam setan di sini tidak dimaknai makna konkrit, akantetapi yang benar adalah makna abstrak. Artinya setan merasakan sakit dan terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah. Dalam pernyataan Ibnu Abbas diungkapkan dengan istilah “merajam setan”. Demikianlah yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam perkataannya tersebut.
Terdapat bukti yang kuat, yang membenarkan kesimpulan ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَات
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” (QS. Al-Baqarah: 203).
Masuk dalam cakupan perintah berdzikir pada hari-hari yang berbilang dalam ayat di atas adalah melempar jumrah. Karena Allah ta’ala berfirman pada potongan ayat selanjutnya,
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْه
“Barangsiapa yang ingin segera menyelesaikan lempar jumrahnya dalam dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menyempurnakannya dalam tiga hari, maka tidak ada dosa pula baginya.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Ini bukti bahwa hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, bukan untuk melempari setan. (Lihat: Adhwa-ul Bayan, 4/479).
Juga sesuai dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه
“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
Setelah menyampaikan hadits ini, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
هذه هي الحكمة من رمي الجمرات ولهذا يكبر الانسان عند كل حصاة لا يقول: اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بل يكبر ويقول : الله اكبر. تعظيما لله الذي شرع رمي هذه الحصى
“Inilah hikmah dari ibadah melempar jumrah. Oleh karena itu, (saat melempar jumrah) orang-orang bertakbir di setiap lemparan, mereka tidak mengucapkan,
“A‘uudzubillahi minasy syaithanir rajiim” (kuberlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Mereka justru bertakbir, “Allahu akbar“, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah yang telah mensyariatkan ibadah melempar jumrah.” (Majmu’ Fatawa War Rasaa-il Ibni ‘Utsaimin, 3/133)
Jadi, hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah ta’ala. Bukan sebagaimana keyakinan sebagian orang, yang mengatakan bahwa melempar jumrah dalam rangka melempari setan.
Bila ada yang bertanya lebih spesifik lagi, “Mengapa Allah menetapkan ritual melempar jumrah sebagai sarana untuk mengingatNya? Seakan dua hal ini sulit untuk dipahami“.
Baiklah saudaraku, semoga Allah memberkahi Anda… Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat Al-Hakim ( Yang Maha Bijak Sana). Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memerintahkan suatu ibadah begitu saja, tanpa ada manfaat di balik ibadah tersebut. Memang tak semua ibadah kita ketahui hikmahnya. Hal ini karena keterbatasan ilmu dan nalar kita. Namun kita sebagai seorang mukmin, meyakini bahwa pasti ada hikmah yang terkandung pada setiap perintah Allah ta’ala.
Minimal ketidak tahuan kita terhadap hikmah yang terkandung pada suatu ibadah, akan memunculkan rasa penghambaan yang sejujurnya. Dimana dia menjalankan ibadah semata-semata karena menjalankan perintah dari Tuhan yang tekah menciptakannya. Ia patuhi perintah Allah itu karena ia menyadari bahwa dirinya seorang hamba dan Allah memerintahkan susatu karena Allah menyayanginya. Pasti ada rahasia indah di balik semua itu.
Mari kita simak nasehat indah dari Imam Nawawi rahimahullah berikut,
ومن العبادات التي لا يفهم معناها : السعي والرمي ، فكلف العبد بهما ليتم انقياده ، فإن هذا النوع لاحظ للنفس فيه ، ولا للعقل ، ولا يحمل عليه إلا مجرد امتثال الأمر ، وكمال الانقياد فهذه إشارة مختصرة تعرف بها الحكمة في جميع العبادات والله أعلم انتهى كلام النووي
“Sebagian ibadah tidak diketahui maksud atau tujuannya, semacam sa’i dan melempar jumrah. Allah membebani seorang hamba untuk melakukan dua ibadah tersebut agar kepatuhannya kepada Allah semakin sempurna. Karena jiwa tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak pula akal.
Tidak ada motivasi yang mendorongnya untuk melakukan perintah tersebut, melainkan semata-mata mematuhi seruan Allah, serta ketundukan yang sempurna (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dengan kaidah ringkas ini, kamu akan mengetahui hikmah semua ibadah.”
(Dikutip oleh Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir beliau Adhwaa-u Al-Bayan 4/480, dari kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab).
Demikian yang bisa penulis sampaikan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayahNya kepada penulis dan pembaca sekalian. Wallahu’alam bisshowab.
___
Sumber :
Diselesaikan di Wihdah 8, Komplek kampus Universitas Islam Madinah, KSA
Penulis: Ahmad Anshori
Muraja’ah: Ustadz. M. Abduh Tuasikal, ST., MSc
Artikel Muslim.Or.Id