Hukum I'tiqaf

I’tikaf telah disepakati umat Islam sebagai ibadah dan cara yang paling utama untuk ber-taqqarub kepada Allah SWT.

Dalil disyariatkannya i’tikaf  adalah firman Allah SWT: ‘’… Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, dan yang sujud.’’ (QS Al-Baqarah [2]: 125)
Dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 187, Allah SWT Berfirman, ‘’… Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu (istri), sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.’’
Para ulama membagi hukum i’tikaf menjadi dua jenis, yakni wajib dan sunah. Namun, Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam Fadhilah Ramadhan, membagi hukum i’tikaf menjadi tiga jenis, yakni i’tikaf wajib, i’tikaf sunah, dan ’tikaf nafil.
a. I’tikaf Wajib. Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang diwajibkan oleh seseorang pada dirinya sendiri. Nazar merupakan ikrar yang harus ditunaikan. Misalnya, seseorang mengatakan, ‘’Bila Allah SWT menyembuhkan sakitku, maka aku akan beri’tikaf sehari.’’ Atau ada yang bernazar, ‘’Aku bernazar akan beritikaf sebulan.’’ Dalam keadaaan tersebut, maka hukum i’tikaf menjadi wajib.
Jadi, menurut Al-Kubaisi, i’tikaf hukumnya menjadi wajib bila disertai dengan nazar.  I’tikaf wajib didasari oleh sebuah hadis Nabi SAW.  Ibnu Umar RA mengatakan bahwa Umar bertanya kepada Nabi SAW. (dalam satu riwayat: dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab berkata, “Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliah dulu, saya bernazar untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Beliau bersabda, “Penuhilah nazarmu.” Lalu Umar beri’tikaf semalam. (HR Bukhari).
Pada dasarnya, menepati janji atau nazar hukumnya memang wajib berdasarkan firman Allah SWT: ‘’Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka, hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling  rumah tua itu (Baitullah).’’ (QS Al Hajj: 29).
Aisyah RA berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ‘’Barang siapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia penuhi nazarnya; dan barang siapa bernazar untuk melakukan kemaksiatan terhadap Allah, maka hendaklah jangan ia lakukan perbuatan maksiat itu.’’ (HR Bukhari, An-Nasa’i).
b. I’tikaf Sunah. Seperti dicontohkan Rasulullah SAW, i’tikaf sunah dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Menurut Al-Kubaisi, sejak hijrah dari Makkah ke Madinah, Nabi SAW secara rutin beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, hingga akhir hayatnya. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi SAW:
Hadis riwayat Ibnu Umar  RA: ‘’Bahwa Nabi SAW selalu i’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. (Shahih Muslim No.2002).
Hadis riwayat Aisyah RA, ia berkata: ‘’Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, beliau menghidupkan malam (untuk beribadah), membangunkan istri-istrinya, bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri. (Shahih Muslim No.2008)
Hadis riwayat Aisyah  RA, ia berkata:  ‘’Adalah Rasulullah SAW, beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya’’. (Shahih Muslim No.2009)
Adapun dalil yang membuktikan bahwa Rasulullah SAW selalu I’tikaf pada bulan Ramadhan adalah hadis berikut: Aisyah RA berkata, “Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari (dalam satu riwayat: setiap 2/259) bulan Ramadhan. Maka, saya buatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu.
(Apakah Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri’tikaf? Lalu Nabi memberinya izin, lantas dia membuat kubah di dalamnya. Maka, Hafshah mendengarnya). Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat sebuah tenda pula, maka Aisyah mengizinkannya. Kemudian Hafshah membuat tenda (dalam satu riwayat: kubah).
Ketika Zainab binti Jahsy melihat tenda itu, maka ia membuat tenda untuk dirinya. Ketika hari telah subuh, Nabi melihat tenda-tenda itu (dalam satu riwayat: melihat empat buah kubah). Lalu, Nabi bertanya, ‘Tenda-tenda apa ini?’ Maka, diberitahukan orang kepada beliau (mengenai informasi tentang mereka). Lalu, Nabi bersabda,
‘Apakah yang mendorong mereka berbuat begini? Bagaimanakah sebaiknya menurut pikiran kamu mengenai mereka? (Aku tidak melakukan i’tikaf sekarang 2/260).’ Lalu, beliau menghentikan i’tikafnya dalam bulan itu. Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Syawal.” (HR Bukhari).
c. I’tikaf Nafil.  Menurut Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, i’tikaf nafil adalah i’tikaf tanpa batasan waktu dan hari. Menurut dia, kapan saja seorang berniat i’tikaf, ia dapat melakukannya.
sumber : Republika.co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *