Kedekatan dan Ketaatan Muhammad Al Fatih dan Pasukannya kepada Allah SWT

Kalau seandainya ada pemimpin Muslim yang tidak pernah masbuq dalam shalatnya, dialah Sultan Muhammad al-Fatih.(Syaikh Syamsuddin – Guru Fatih Sultan Mehmed)

Di antara rahasia kemenangan Sultan Mehmed dalam upayanya mewujudkan bisyarah Islam dan nubuwwah Rasulullah saw, tentang penaklukkan kota Konstantinopel adalah kualitas amal saleh Sultan Mehmed dalam mendirikan shalat. Dalam catatan sejarah, nama Sultan Mehmed tercatat dengan tinta emas mengabadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang teguh mendirikan shalat. Tidak hanya shalat fardhu yang lima waktu, namun juga shalat sunnah, seperti shalat rawatib dan shalat tahajjud. Dia begitu meyakini bahwa kemenangan pasukan Islam dalam setiap peperangan melawan musuh-musuhnya bukan semata karena jumlah pasukan yang banyak, teknologi persenjataan yang hebat atau strategi militer yang brilian. Namun, Sultan Mehmed meyakini sepenuhnya bahwa setiap kemenangan pasukan yang dipimpinnya merupakan pertolongan nyata dari Allah Swt.
 
Keyakinan Sultan Mehmed ini terungkap secara nyata di hadapan pasukannya, saat dia mengumpulkan mereka pada 27 Mei 1453. Sultan Mehmed melihat kemenangan atas Konstantinopel sudah semakin dekat, dia berkhutbah di hadapan pasukannya, mengingatkan mereka akan tujuan penaklukkan atas Konstantinopel:
 
“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses maka sabda Rasulullah saw telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada para pasukan satu persatu bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”
 
Khutbah Sultan Mehmed ini adalah penegasan kepada pasukannya bahwa kemenangan tidak akan bisa dicapai dengan mengandalkan kekuatan belaka, bukan pula karena kecerdasan dan strategi perang, dia sangat memahami bahwa kemenangan hanya akan tercapai dengan izin dan pertolongan Allah. Bahkan, dia meminta kepada seluruh pasukannya untuk bermunajat kepada Allah Swt, menjauhkan diri dari maksiat, bertahajjud pada malam harinya dan berpuasa pada esok harinya.
 
Demikian pula dengan dirinya sebagai pemimpin seluruh pasukan, Sultan Mehmed menjadi orang pertama yang memberi contoh kepada pasukannya. Dia mengerjakan apa yang telah diperintahkannya. Bahkan tinta para sejarawan menuliskan bahwa untuk menjaga kedekatannya dengan Allah Swt dan memohon pertolongan dan izin-Nya atas keinginannya yang sangat kuat untuk menaklukan Konstantinopel, sejak usia baligh, Mehmed remaja tidak pernah melalaikan shalatnya. Dia tidak hanya shalat tepat waktu, namun juga dia mengerjakannya secara berjama’ah di dalam masjid. Bahkan, sepanjang hidupnya, Mehmed tidak pernah masbuq atau ketinggalan dalam shalatnya. Terbukti, sejak usia baligh, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat rawatib, yaitu shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu. Kalau shalat rawatib saja tidak pernah lalai apalagi shalat yang wajib, tentu Mehmed lebih mengutamakannya.
 
Selain itu, sejak remaja, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud barang semalam pun. Bahkan, pada saat dia terbaring sakit pun, Mehmed selalu menyempatkan diri bangun pada sepertiga malam terakhirnya untuk bersimpuh sujud di hadapan Rabb-nya. Mehmed ingin mengikuti tabiat Rasul yang selalu menegakkan shalat tahajud sepanjang malam dalam hidupnya. Shalat tahajud bagi Rasulullah saw merupakan kewajiban yang tak bisa beliau tinggalkan, sebagai takhsis baginya. Sultan Mehmed adalah ahli qiyamul lail yang selau kontak dengan energi terbesar di alam semesta ini, Allah Swt.
 
Bahkan, Mehmed memiliki satu kebiasaannya yang cukup unik, dia selalu berkeliling setiap malam, memeriksa kondisi teman dan rakyatnya. Dia sengaja berkeliling untuk memastikan apakah rakyat dan teman-temannya terbangun dan menegakkan shalat malam, ataukah tidak?
 
Kesalehan pribadi Sultan Mehmed terbukti ketika suatu hari, muncul persoalan pada saat pasukan Islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang kali pertama di Konstantinopel. “Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?”
 
Namun, tidak ada seorang pun yang berani menawarkan dirinya. Melihat hal itu, Sultan Mehmed segera bangun dari tempat duduknya dan meminta kepada seluruh jama’ah untuk sama-sama berdiri. Kemudian, dia bertanya. “Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akil balighnya hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk?!”
 
Subhanallahl Mahasuci Allah! Tidak ada seorang pun di antara pasukan Islam yang duduk. Semuanya masih tegak berdiri. Artinya, pasukan Islam yang dipimpin Sultan Mehmed sejak mereka remaja hingga pada hari itu, tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan shalat wajib. Tidak sekalipun, mereka melalaikan shalat fardhu.
 
Mehmed tersenyum, kemudian bertanya untuk kali kedua: “Siapa di antara kalian yang sejak akil baligh dahulu hingga pada hari ini, pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat rawatib sekali saja, silahkan duduk’”.
 
Sebagian di antara pasukan Islam yang merasa pernah meninggalkan shalat rawatib, mereka segera duduk. Namun, sebagian besar di antara pasukan Islam saat itu masih berdiri tegak. Artinya, sejak masa remajanya, mereka tidak pernah meninggalkan shalat rawatib, yaitu shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai Muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh jujur.
 
Sultan Mehmed pun kembali berseru sambil mengedarkan matanya kepada seluruh pasukannya yang masih berdiri tegak: “Siapa di antara kalian yang sejak masa akil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Bagi yang merasa pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk?!”
 
Apa yang terjadi? Pasukan Islam yang sebelumnya masih banyak yang berdiri tegak dengan segera mereka duduk rapih kembali. Namun, ada pemandangan yang menakjubkan, ternyata ada seorang yang masih tetap tegak berdiri. Dia adalah Sultan Mehmed II bin Murad II, sang penakluk Konstantinopel. Dialah yang pantas menjadi imam shalat jum’at pada hari itu karena hanya dialah yang sejak akil baligh dan usia remajanya selalu mengisi kesunyian malamnya dengan bersujud kepada Allah Swt, tidak kosong semalam pun. Subhanallah!
 
Berkat jiwa kepahlawanan, keberanian, kecerdasan, kesalehan dan prestasinya inilah, Mehmed II bin Murad II diberi gelar al-Fatih. Itulah sebuah kisah sejarah yang sungguh indah dalam bingkai ketakwaan kepada Allah Swt. Kisah Pedang Malam yang merupakan rahasia sukses dari seorang pribadi penggubah sejarah, bernama Fatih Sultan Mehmed atau dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih. Keberadaan dirinya yang luar biasa telah diprediksi oleh Rasulullah saw dalam sabdanya yang mulia:
 
“Konstantinopel akan jatuh ke tangan seorang laki-laki. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” (HR. Ahmad bin Hanbal Al Musnad 4/335).
 
Sumber:Siauw, Felix Y. (2011). Muhammad Al Fatih 1453. Jakarta: Khilafah Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *