Pak Didik, Penjual Empal Gentong Menolak Umroh Gratis

Ditulis oleh Agung Soni, dimuat di Kompasiana : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/02/22/pak-didik-penjual-empal-gentong-menolak-umroh-gratis-633949.html
Pertengahan Januari 2014 lalu, saat keluar dari pintu masjid Suci Pekambingan, Denpasar, saya dikejutkan oleh sapaan dari seseorang yang sering saya temui berjualan empal gentong di Masjid Agung Sudirman Denpasar. Pria semampai bertubuh kurus itu menyalamiku. Ada raut kegembiraan yang memancar dari wajahnya.
“Assalamu’alaikum Mas Soni”, sapanya. “Wa’alaikumsalam. Pak Didik tho..”, jawabku.
“Mas, kalau mengurus paspor bagaimana caranya ya?”, tanya Pak Didik tiba-tiba.
Saya pun menjelaskan dengan pelan-pelan pada Pak Didik.
“Ini mas, alhamdulillah, saya mau diberangkatkan umroh gratis dari seorang pelanggan yang baik. Saya senang , Mas. Allah mengabulkan doa-doa saya selama ini. Saya minta tiap tahajud agar bisa beribadah di tanah suci. Sekali seumur hidup saja”, cerita Pak Didik.
“Kemarin orangnya datang ke saya sambil makan. Terus gak nyangka kok nawarin saya “mau umroh Pak?”, ya jelas saja saya jawab ya. Dia bilang, ya sudah bapak urus paspor secepatnya nanti berangkat bulan depan. Semua biaya perjalanan dan ongkos biar saya tanggung. Bapak ngurus paspor saja.”, tutur Pak Didik lagi.
“Saya tiap habis jualan, dapat uang selalu saya sisihkan, Mas. Ada kaleng kecil saya kasih tulisan “Buat Haji Umroh”. Tapi entah kenapa, setiap sudah ngumpul banyak selalu saja ada keperluan keluarga yang harus saya keluarkan dari kaleng kecil itu. Yang anak sakit, istri melahirkan, orang tua saya di kampung minta dipinjamkan , pokoknya semua usaha tabungan saya selalu habis. Saya tidak putus asa. terus saya berdoa sambil nabung sedikit demi sedikit. Tetap saja tidak bisa, Mas.”
“Mungkin inilah cara Allah menjawab keinginan saya untuk pergi umroh”, kata Pak Didik haru.
 
1393061721702702357
Pak Didik di pelataran Masjid Agung Sudirman Denpasar (dok.pribadi)
Tentu saja kisah Pak Didik ini begitu membuat saya terdiam. Kagum dan salut kepada beliau. Usaha perjuangan beliau memang keras. Sejak pagi buta, pukul 03 pagi ia sudah ke pasar mencari semua bahan keperluan untuk jualan nanti siang. Dari daging sapi , sayur, dan semua bumbu-bumbu. Setelah semua dipersiapkan, pukul 10 pagi, Pak Didik sudah mulai mendorong gerobak jualannya dari rumahnya di Pekambingan menuju Masjid Agung di jalan Sudirman Denpasar. Pukul 04 sore dagangan Pak Didik sudah habis. Kembali ia mendorong gerobaknya untuk pulang.
Sebulan berselang, sore ini selepas Ashar saya menemui Pak Didik untuk tombo kangen dengan empal gentong yang dijualnya. Rasanya enak dan maknyus , kata orang. Dengan harga terjangkau dan kebersihan serta halalnya makanan, saya selalu menjadi pelanggan setia empal gentong Pak Didik. Oh iya, kalau belum ada yang tahu apa itu empal gentong, sedikit akan saya jelaskan.
Makanan ini mirip dengan gulai (gule) dan dimasak menggunakan kayu bakar (pohon mangga) di dalam gentong (periuk tanah liat). Daging yang digunakan adalah usus, babat dan daging sapi. Selain menggunakan kayu bakar dan gentong, makanan ini disajikan menggunakan kucai dan sambal berupa cabai kering giling. Empal gentong dapat disajikan dengan nasi atau juga lontong. lontong menurut orang cirebon hanyalah beras yang dimasukan kedalam daun pisang yang sudah dibentuk silinder, tidak ada campuran lainnya.
Itu sekilas saja tentang empal gentong. Bikin kepengin ya?… hehehe…maaf maaf.
Kita kembali kepada kisah Pak Didik ya. Pak Didik pun menjabat tangan saya saat bertemu sore ini.
“Mas, saya tidak jadi berangkat Umroh..”, jelas Pak Didik datar.
“Lho, ada apa Pak?”, tanyaku.
“Saya tidak mau berangkat ibadah ke tanah suci dari uang orang itu. Banyak orang menceritakan kepada saya. Kalau 1 orang, mungkin saya masih kurang percaya. Ini ada 5 orang , ceritanya sama semua. Orang yang mau memberangkatkan saya ternyata seorang rentenir , Mas. Dia kerja sama orang kaya yang senang memeras orang dengan meminjamkan uang. Bunganya besar. Nanti kalau yang meminjam tidak bisa bayar, setiap hari bunga makin bertambah. Bunga berbunga. Saya tidak mau celaka di tanah suci, Mas”, cerita Pak Didik.
“Paspor padahal sudah jadi. Istri sudah senang. Orang tua saya juga sudah senang. Tapi apa boleh buat. Percuma kalau saya berangkat dari uang boleh haram,” tutur Pak Didik.
Hati saya pun seperti ikut bersedih. Ternyata orang jujur dan punya idealisme bukan milik para pejabat. Tapi orang sederhana dan pas-pasan hidupnya.
Sebuah pelajaran berharga buat saya pribadi.
1. Orang sibuk memperkaya diri dengan cara yang tidak tentu, mau halal mau haram pokoknya kaya. Bahkan uang haram pun dipakai untuk ibadah umroh/haji. Sedangkan Pak Didik memilih keselamatan dirinya dari pertanyaan serta pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Pak Didik tidak mau dijadikan “wadah laundry” dari kejahatan dan pemerasan orang lain. Ia masih punya hati nurani
2. Memang Ibadah Haji/Umroh harus dari uang halal. Kalau sekarang banyak orang ibadah umroh dan haji dari uang tidak halal, maka patutlah malu dan segan kepada orang-orang kecil semacam Pak Didik yang tetap bertahan lebih baik bersih daripada berangkat tapi kotor.
3. Kejujuran dan Mempertahankan prinsip itu barang langka. Tidak setiap orang memilikinya. Apakah kita seperti Pak Didik yang memilih jujur? atau tetap memilih berangkat umroh , tidak perduli sumber uang berasal dari mana?
Semoga ini bisa menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi saya dan banyak orang.
Salam Idealisme
dan Bersihnya Ibadah dari Kehinaan Perbuatan Jahat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *