Salman Al-Farisi (Pencari Kebenaran)

Pahlawan kita kali ini datang dari Persia. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalaman ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, dokter-dokter Islam, ahli-ahli astronomi Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam.
Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.
Salman radhiyallahu ‘anhu sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.
 
Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam — yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)
24.000 orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.
Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.
Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu!’ Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu ‘anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.
Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atas usul Salman radhiyallahu ‘anhu tersebut.
Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka … dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit …
Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu ‘anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu ‘anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
Salman radhiyallahu ‘anhu seorang yang berperawakan kuat dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman radhiyallahu ‘anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu ‘anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti….
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. “Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah”, kata Salman radhiyallahu ‘anhu, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan takbir,
sabdanya:
Allah Maha Besar! aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir
sabdanya:
Allah Maha Besar! aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.
Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan’a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia, sebagai seorang Persia ia menganut agama Majusi, tapi ia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Kemudian ia mengalami pergolakan batin untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya. Ia pun akhirnya meninggalkan agama nenek moyangnya dan menganut agama Kristen.  setelah itu, ia menganut agama Islam. Bagaimana ia meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan lebih memilih hidup dalam kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya. bagaimana ia sampai dijual dipasar budak dalam perjalannannya mencari kebenaran itu. bagaimana ia berjumpa Rasulullah dan beriman kepadanya.
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api, yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarakannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah. Pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, kemudian aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang dan kataku dalam hati, ‘lni lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!’
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam sehingga membatalkan untuk pergi ke tanah milik bapakku dan tidak kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal usul agama mereka. ‘Dari Syiria’, ujar mereka.
Ketika aku berhadapan dengan bapakku, kukatakan kepadanya, ‘Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.’
Aku dan bapakku pun melakukan diskusi, tetapi berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.
Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bawah aku telah menganut agama mereka. Kupinta pula apabila datang rombongan dari Syiria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku mereka kabulkan, lalu kuputuskan rantai, meloloskan diri dari penjara, dan menggabungkan diri dengan rombongan itu menuju Syiria.
Sesampai di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Kemudian aku datang kepadanya dan kuceritakan keadaanku. Akhirnya, tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka, dan belajar.
Sayang uskup itu orang yang tidak baik beragamanya karena sedekah yang dikumpulkannya dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya sendiri.
Kemudian uskup itu wafat. Dan mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Kulihat tak ada seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.
Hingga tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku kepadanya, ‘Seperti yang Anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri Anda. Maka apakah yang harus aku perbuat dan siapakah sebaiknya yang harus aku hubungi?’
‘Anakku,’ ujarnya, ‘tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.’
Lalu, takkala ia wafat, aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceritakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang saleh yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan kuceritakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak meninggal, aku bertanya pula kepadanya. Kemudian aku disuruhnya untuk menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.
Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya. Sebagai bekal hidup aku beternak sapi dan kambing beberapa ekor.
Akhirnya, dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan kepadanya siapa yang harus aku percayai sepeninggalnya. Ujarnya, ‘Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat aku percayakan engkau kepadanya.
Namun, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam.
Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang, yaitu ia tidak mau makan harta sedekah, sebaliknya, dia bersedia menerima hadiah, dan dipundaknya ada cap kenabian yang jika kau melihatnya, kau akan segera mengenalinya.
Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab. Aku pun berkata kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?’ Mereka pun menyetujuinya.
Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang Yahudi.
Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang Yahudi dari Bani Quraizhah yang membeliku darinya. Aku dibawanya ke Medinah dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah saw. yang datang ke Medinah dan singgah di Bani ‘Amr bin ‘Auf di Quba.
Pada suatu hari ketika aku berada di puncak pohon kurma, sedangkan majikanku sedang duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang Yahudi saudara sepupunya yang berkata, ‘Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang lelaki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi!’
Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan aku bertanya kepada orang tadi, ‘Apa kata Anda? Ada berita apa?’
Bukan jawaban yang aku terima, melainkan pukulan telak dari majikanku seraya berkata, ‘Apa urusanmu dengan ini?! Ayo, kembali bekerja!’
Setelah hari petang, kukumpulkan semua yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah saw. di Quba. Aku masuk menemuinya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.
Lalu, kataku kepada mereka, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini,’ kataku sambil menghidangkan makanan di hadapan beliau.
‘Makanlah dengan nama Allah!’ sabda Rasulullah saw kepada para sahabatnya, tetapi beliau tidak sedikit pun mengulurkan tangannya untuk menjamah makanan itu.
Demi Allah, kataku dalam hati, inilah salah satu dari tanda-tandanya, yaitu ia tidak mau memakan harta sedekah.
Aku kembali pulang, tetapi keesokan harinya pagi-pagi aku kembali menemui Rasulullah saw sambil membawa makanan. Aku berkata kepadanya, ‘Kulihat Tuan tidak ingin makan makanan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada Tuan sebagai hadiah’ sambil kutaruh makanan di hadapannya.
Kemudian kepada para sahabatnya bersabda, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah!’
Beliau pun turut makan bersama para sahabatnya. Demi Allah, inilah tanda yang kedua, yaitu ia bersedia menerima hadiah.
Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Bapi’ sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh para sahabatnya. la memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan satu lagi sebagai baju.
Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan padanganku hendak melihat tanda di pundaknya. Rupanya ia mengerti maksudku, lalu disingkapkanlah kain burdahnya dari lehernya dan tampaklah tanda yang kucari di pundaknya, yaitu cap kenabian sebagaimana yang disebutkan oleh pendeta dulu.
Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu, aku dipanggil menghadap oleh beliau. Aku duduk di hadapannya, lalu aku ceritakan kisahku kepadanya.
Akhirnya, aku pun masuk Islam, tetapi perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud. Kemudian pada suatu hari Rasulullah saw. memerintahkan kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan!’
Aku turuti perintah beliau dan para sahabat diperintahkan untuk membantuku dalam soal keuangan.
Akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah SWT dan hidup sebagai seorang muslim yang bebas merdeka. Aku pun menjadi bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan lainnya.”
Sejak bertemu Rasulullah dan beriman kepadanya, Salman hidup sebagai seorang muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan taat beribadah.
Salman dikaruniai usia yang panjang. Ia menyaksikan pemerintahan Abu Bakar dan Umar ra. Ia meninggal dunia, pada masa Utsman bin Affan.
Dio tahun tahun terakhir kehidupan Salman itulah, panji panji Islam berkibar ke seluruh penjuru dunia. harta benda dan kekayaan mengalir ke Madinah, baik yang berasal dari pajak ataupun dari yang lainnya. Lalu kekayaan itu dibagikan ke warga sebagai tunjangan hidup yang dibagikan setiap bulan.
Secara otomatis tenggung jawab negara bertambah, dan kebutuhan akan orang-orang yang mampu menjadi pemimpin daerah juga bertambah.
Dalam kondisi seperti ini, dimanakah Salman? Dalam keadaan negara dipenuhi kekayaan, dimanakah Salman? maka perhatikanlah ia dengan seksama.
Lihatlah laki laki tua berwibawayang sedang duduk di bawah pohon. Lihatlah bagaimana ia asyik menganyam asyik daun kurma untuk dijadikan keranjang. Laki-laki itu adalah Salman ra. yang sedang kita bicarakan.
Perhatikan lagi.
Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya sampai lutut. padahal saat itu ia orang yang dihormati dan disegani.
Salman Al-Farisi dipercaya menjadi Walikota di Madain. Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit yaitu berkisar 4000-6000 dinar setahun. Namun apa yang dilakukannya dengan gajinya itu?? Tidak sedikitpun ia mengambil gajinya sebagai walikota untuk kepentingan dirinya. Ia bagikan seluruhnya kepada rakyatnya. Lalu bagaimana ia menghidupi diri dan keluarganya??
Lihatlah laki laki tua berwibawa yang sedang duduk dibawah pohon. Lihatlah bagaimana ia asyik menganyam daun kurma untuk dijadikan keranjang. Untuk apa keranjang itu? Keranjang itu untuk dijualnya kembali seharga 3 dirham untuk menghidupi diri dan keluarganya.Subhanallah sebuah totalitas pengabdian kepada Allah dan negerinya. Meskipun ia menjabat sebagai walikota, ia tak sedikitpun mengambil gaji untuk kepentingan dirinya. Ia malah menafkahi keluarganya dengan usahanya sendiri yaitu membuat keranjang.
Maka dengarlah perkataannya, “Aku membeli daun kurma seharga satu dirham.Daun itu kubuat keranjang.Kemudia kujual dengan harga tiga dirham.Satu dirham kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham lagi untuk sedekah.Meskipun Khalifah Umar ra.melarangku berbuat demikian, aku tidak mau menghentikannya.”
Adakah yang sanggup mengikuti jejak Salma ra.?
dengarlah kembali satu kisah ini. saat Salman ra. menjabat sebagai Walikota Madain.
sebagaimana yang sudah kita ketahui, bahwa Salman tak mengambil gajinya sedikitpun untuk kepentingan dirinya. Ia memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya dengan menganyam daun kurma. pakaiannya hanya baju luar yang sederhana. sesederhana pakaiannya sebelum diangkat menjadi walikota.
Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, Ia berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah tin dan kurma. rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya. ketika orang Syam itu melihat laki laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, ia hendak menyuruh laki laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas sesampainya ditempat tujuan. Orang Syam itu memanggil Salman, dan Salman mendekat. Orang itu berkata kepada Salman, “Tolong bawakan barangku ini.” Maka Salman mengangkat barang itu, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.
ditengah jalan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman mengucapkan salam kepada mereka. mereka berhenti dan menjawab salam itu. “Kesejahteraan juga untuk walikota.” orang Syam itu bertanya dalam hati, “juga kepada walikota? siapa yang mereka maksud?” keheranannya semakin bertambah ketika beberapa orang dari rombongan itu bergegas mendekat dan berkata, “Biarkan kami yang membawanya.”
barulah orang Syam itu sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah Salman Al-Farisi, walikota Madain. orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat hendak mengambil beban itu, tetapi Salman menolak. Salman berkata, “Tidak, biar kuantarkan sampai rumahmu.”
Wafatnya Salman
Sesaat sebelum ajal menjemputnya. Sa’ad bin Abi Waqqash  datang menjenguknya. Tiba -tiba Salman menangis.
Apa yang kamu tangiskan wahai Abu Abdillah (panggilan Salman)? padahal saat Rasulullah Wafat, beliau ridho kepadamu?”
Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati, atau mengharap kemewahan dunia. Rasulullah telah menyampaikan pesan kepada kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang musafir.” padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak disekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. lalu aku berkata padanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu kami ingat.”
Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberi keputusan, dan ketika membagi.”
Ternyata inilah yang telah mengisi hati Salman, sehingga ia tidak mau mendekati kekayaan dan kejahatan. yaitu pesan Rasulullah saw. kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil dunia kecuali sekedar bekal seorang musafir.
Salaman ra. sama sekali tidak tertarik dengan dunia. hanya ada satu barang yang membuatnya sangat tertarik. ia meminta isterinya untuk menyimpan barang itu baik baik.
saat ia sakit, sebelum meninggal dunia, ia memanggil isterinya, “Ambilkan barang yang pernah ku titipkan kepadamu.”
ternayata barang itu adalah wewangian kasturi yang ia peroleh saat pembebasan kota Jalula. Sengaja ia simpan untuk wewangian saat ia meninggal dunia.
ia meminta segelas air. Kasturi itu dimasukkan kedalam air lalu diaduk. Dia berkata kepada istrinya, “Percikanlah kesekelilingku. Aku akan didatangi makhluk yang tidak makan, namun suka dengan wewangian.”
Selesai memercikan kesturi. Ia berkata kepada isterinya, “Tutuplah pintu dan keluarlah.” sang isteri menuruti perintah Salman.
Beberapa saat kemudian, sang isteri masuk ketempat Salman, dan dijumpainya Salman telah pulang kepangkuan Tuhannya. Salman ikut serta dengan malaikat yang menjemputnya, terbang dengan sayap-sayap kerinduan, karena dia mempunyai janji. janji bertemu dengan Rasulnya; Muhammad saw. dengan dua rekannya; Abu Bakar Ra. dan Umar ra; dan para syuhada dan orang orang shaleh.
Lama sudah dahaga kerinduan menyertai Salman.
Kini, air pelepas dahaga itu telah datang.
Sumber : 60 Siroh Sahabat Rasulullah Saw. karya Khalid Muhammad Khalid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *