1. MAHRAM
Adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Mahram Sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Allah berfirman; “Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1) ibu-ibumu; (2) anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5) saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Dari ayat ini Jumhùrul ‘Ulàmà’, Imam ‘Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh “anak-anakmu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi’iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berarti boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:
“Allàh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 11).
Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut ‘ijma’ maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” (HR. Al Bukhàri dan Muslim).
Al-Qur’àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: “(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Mahram Sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh. “Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri” (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Menurut Jumh urul `Ulàmà’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)”. (QS. An Nisà’ [4] : 22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Rasulullàh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: “Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya” (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan ‘ijmà`ul `ulàmà’. (Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin ‘Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zina dengan seorang perempuan semoga Allàh menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.
Wanita yang bersuami
Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami. “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS. An Nisà’ [4] : 24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina” (An Nisà’/4:24). Wallàhu ‘a`làm (Asri Ibnu Tsani)
2. MUHRIM
Terkadang kita terbiasa mengucapkan kata non muhrim kepada perempuan atau laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena factor sebab sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan, padahal pengguaan kata tersebut tidaklah tepat. Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614).
Kata Muhrim di dalam bahasa arab berasal dari akar kata حرم – haruma : menjadi terlarang
Bagaimana bentuk perubahan, atau tashrifnya?
Kata حرم – haruma, bentuk mudhory’ (present tense) adalah يحرم – yahrumu, dengan mashdar ada beberapa bentuk: حرم – hurmun , حرم – hurumun, حرمة – hirmatun, dan حرام – haraamun. Semua ini artinya: menjadi terlarang. Nah, kata mashdar حرام (haraam) ini yang sering dipadankan dengan sebagai lawan kata dari حلال (halaal)
Contoh penggunaan kata kerja-nya: حرمت السحور على الصائم : harumat assahuuru ‘alaa asshooimi (Sahur itu menjadi terlarang bagi yang berpuasa)
حرمت المرأة على زوجها : harrumat al-mar-a-tu ‘alaa zaujihaa (Wanita itu menjadi terlarang bagi suaminya)
Sedangkan kata mashdar حرام – haraam, yang berarti “yang haram” adalah bentuk singular, dan bentuk pluralnya adalah حروم – huruum.
Contohnya:
الارضى الحرام – al-ardh al-haraam : tanah terlarang, tidak dikuasai, neutral zone
البيت الحرام – al-bayt al-haraam : rumah terlarang (Ka’bah), terlarang bagi non-muslim
الشحر الحرام – asy-syahr al-haraam : bulan haram, terlarang berperang
الاشحر الحروم – al-asyhur al-huruum : bulan-bulan haram
Kalau kita teruskan, maka kita dapatkan bentuk isim fa’ilnya (kata benda pelaku) adalah حارم – haarimun, dan isim maf’ulnya (kata benda objek) محروم – mahruum. Dan bentuk isim zaman (kata benda keterangan terjadinya perbuatan) atau isim makan (kata benda tempat terjadinya perbuatan) adalah محرم – mahram. Kata mahram ini artinya “terlarang”, juga berarti “orang yang haram dinikahi”. Jamaknya محارم – mahaarim.
KKT-1
Bentuk KKT-1 (kata kerja turunan ke 1), adalah:
أحرم – ahrama : mengharamkan, dengan bentuk mudhory’ يحرم – yuhrimu, dan mashdarnya adalah إحرام : ihraam.
Kata mashdar ihraam, ini arti asalnya adalah “hal pelarangan”, atau “hal pengharaman”. Kata ini, dipakai pada umumnya untuk menyebut:
تكبيرة الإحرام : takbiiratul ihraam
Takbir “pengharaman”: artinya dari takbir ini sholat dimulai, dan diharamkan melakukan yang membatalkan sholat.
Kata الإحرامihraam juga berarti menyengaja untuk memulai ibadah haji atau umrah. Di Al-Quran dikatakan, jika berhaji diharamkan (di-ihraam-kan) perbuatan rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (berbantah-bantahan).
Kalau kita teruskan bentuk KKT-1 ini maka kita akan bertemu dengan bentuk:
محرم – muhrim (orang yang berihram), atau bisa juga menjadi isim fa’il dari kata ahrama, yang bisa berarti “sesuatu yang mengharamkan”.
Artinya kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul.