Menjelang lebaran atau hari raya Idul Fitri, banyak diantara kita yang terbiasa mengirim pesan atau mengucapkan kalimat Minal Aidin Wal Faizin kepada kerabat, teman atau orang-orang yang kita kunjungi. Yang mungkin ketika mengucapkan kalimat itu, mindset yang ada difikiran yang mengucapkanntya adalah “mohon maaf lahir dan bathin” . padahal artinya bukanlah demikian.
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.”
Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? Terjemahan frasa ini adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
Lantas, bagaimanakah pengucapan yang disyariatkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم
Taqobbalallahu minnaa wa minkum
“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.
Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam ‘Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”.