Setelah berthawaf, maka kita diminta untuk melakukan sa’i, yaitu: berlari-lari kecil antara bukit shafa dan bukit marwah. Untuk lebih mudah memahami sa’i, maka ada baiknya apabila kita kembali mengingat peristiwa sewaktu Nabi Ibrahim as meninggalkan anaknya, Nabi Ismail as, beserta istrinya, Siti Hajar di suatu lahan tandus yang sekarang ini kita kenal dengan nama Mekkah. Kecintaan dan keikhlasan kepada Allah Swt. adalah wujud dari dimensi vertikal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Mungkinkah Anda meninggalkan istri dan anak Anda yang baru lahir di sebuah lahan tandus dan tidak berpenghuni? Dan adakah alasan lain untuk melakukan hal tersebut selain dari wujud kecintaan dan keikhlasan Anda kepada Allah Swt. Tuhan sekalian alam? Sesungguhnya ini adalah wujud konkret dari apa yang kita sebut dengan Tauhid.
Sementara itu, dalam dimensi horizontal sa’i merupakan wujud dari kasih sayang ibu kepada anaknya. Diceritakan bahwa ketika Siti Hajar ditinggalkan, ia mempunyai persiapan air yang cukup, tetapi ketika persediaanya mulai menipis, rasa panik mulai menghinggapi dirinya dan ia pun segera berlari-lari dari bukit shafa ke bukit marwah untuk mencari air. Ketika ia mulai lelah karena tidak menemukan air, tiba-tiba ia tercengang ketika melihat air yang memancar dari bawah padang pasir. Kemudian secara spontan ia seakan berbicara kepada air yang memancar itu agar berkumpul karena takut air itu akan kembali ke dalam pasir. Air inilah yang kini kita kenal dengan istilah air zam-zam yang berasal dari bahasa ibrani yang berarti “kumpullah-kumpullah”.
Dalam makna yang lain, sa’i mengajarkan kepada kita bahwa apabila kita ingin mendapatkan sesuatu, maka kita harus berusaha terlebih dahulu. Hanya saja dewasa ini manusia menginginkan sesuatu dengan instan karena tidak ingin lagi bersusah payah apabila ingin mendapatkan sesuatu, bahkan terkadang sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya itu.