Sumber : Kompasiana.com
Kebahagiaan adalah idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Semua orang tentu ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya, menggantungkan cita-cita setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup.
Menyadari hal ini, Ibnu Abbas ra. memberikan rambu-rambu tentang hakikat kebahagiaan. Ibnu Abbas ra. adalah sahabat senior yang selalu menyertai baginda Rasulullah saw. Di kalangan para mufassir, beliaulah mufassir terunggul di antara yang lain. Pada umur sembilan tahun saja, Ibnu Abbas kecil telah hafal Al-Qur’an dan menjadi imam masjid. Sampai Nabi pun pernah berdo’a khusus untuk beliau, “Ya Allah, berilah kepadanya pemahaman tentang agama dan ajarilah dia tentang takwil (tafsir yang mendalam).”
Menurut Ibnu Abbas ra., ada tujuh indikator yang menjadi tolok ukur bahwa seseorang telah mencapai kebahagiaan hakiki. Ketujuh indikator tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Qalbun Syakurun (hati yang selalu bersyukur)
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress. Inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah, ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Bila sedang dalam kesulitan, maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW, “Kalau kita sedang sulit, perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua, Azwajun Shalihah (pasangan hidup yang sholeh)
Pasangan hidup yang sholeh/sholihah akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat, kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehan, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholehah.
Ketiga, Auladun Abrar (anak yang soleh)
Saat Rasulullah SAW sedang thawaf, beliau bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf, Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu?” Jawab anak muda itu, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya.” Lalu anak muda itu bertanya, ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan, “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti. Tapi, anakku, ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, Bi’ah Shalihah (lingkungan yang kondusif untuk iman kita)
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.
Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, Malun Halal (harta yang halal)
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafaqquh fid Din (semangat untuk memahami agama)
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Semangat memahami agama akan meng-“hidup”-kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, ‘Umrun Mubarokun (umur yang barokah)
Umur yang barokah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Di samping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai tujuh indikator kebahagiaan. Yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ketujuh indikator tersebut? Salah satunya adalah dengan melaksanakan ibadah umroh. Umroh adalah perjalanan ibadah ke Baitullah dengan melaksanakan ihram, thawaf, sa’i dan tahallul. Banyak sekali keutamaan yang didapatkan dari melaksanakan ibadah umroh. Yang paling utama dari sekian banyak keutamaan ibadah umroh adalah bahwa dengan melaksanakan ibadah umroh kita benar-benar berusaha secara optimal agar Allah berkenan mengkaruniakan ketujuh indikator kebahagiaan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas di atas.
Dengan umroh, kita membuktikan diri di hadapan Allah bahwa kita sudah membelanjakan sebagian harta kita dijalan-Nya, sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan umroh, kita berusaha menjadikan umur kita barokah (indikator ketujuh) dengan memperbanyak amal ibadah. Dengan umroh, kita berusaha untuk lebih dalam lagi memahami agama kita (indikator keenam) dengan mempelajari tata cara umroh dan hikmah-hikmahnya. Dengan umroh, kita berusaha memastikan bahwa harta yang kita miliki adalah harta yang halal (indikator kelima), yang pantas untuk sowan ke rumah-Nya. Dengan umroh, kita berusaha mendapatkan lingkungan yang baik (indikator keempat) yang kondusif untuk menjaga keimanan kita dengan bergaul bersama orang-orang sholeh, yaitu rekan-rekan jamaah umroh kita.
Dengan umroh pula, kita berkesempatan untuk berdoa di tempat yang mustajabah (yang dikabulkan) agar anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh/sholehah (indikator ketiga), istri/suami kita tetap sebagai suami/istri yang sholeh/sholehah (indikator kedua), dan agar Allah memberikan kita hati yang senantiasa bersyukur (indikator pertama) atas semua yang telah Allah karuniakan kepada kita, keluarga kita dan orang-orang yang selalu di hati kita. Amin ya Rabbal ‘alamin.